Halaman

Minggu, 10 November 2013

Mengenal Kota Makkah


     Kota Makkah menduduki posisi istimewa dalam kehidupan umat Islam. Kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu merupakan tanah suci yang bergelar haram (kota suci). Gelar tersebut dianugerahkan oleh Allah berkat doa Nabi Ibrahim AS. Dalam riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Nabi Ibrahim telah menjadikan Makkah sebagai tanah haram, maka aku pun menjadikan Madinah sebagai tanah haram."
     Penganugerahan gelar haram tersebut karena latar belakang perjuangan nabi-nabi pembawa risalah tauhid. Al Qur`an merekam jejak sejarah Makkah sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Mereka mendakwahkan tauhid kepada anak cucunya dan masyarakat sekitar.
Anak-anak Ismail dan generasi berikutnya tinggal di sekeliling Baitullah. Pertumbuhan penduduk di sekitar Ka'bah ditandai dengan banyaknya suku-suku yang menetap di sana. Permukiman penduduk terdiri atas berbagai kabilah, seperti Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Asad, Bani Naufal, Bani Zuhrah, Bani Ta'im, Bani Makhzum, dan Bani 'Asi.
Ketika Nabi Muhammad SAW lahir, Makkah sudah menjelma menjadi kota yang sangat terkenal di jazirah Arab. Kebesaran sejarah, budaya, bahkan ekonomi penduduk kota itu cukup menonjol dibandingkan penduduk lain.
Sejarah mencatat, kondisi ekonomi penduduk Makkah sebelum kedatangan Islam sudah cukup mapan. Makkah menjadi jalur dagang yang strategis yang menghubungkan Syam di utara dan Yaman di selatan. Yang lebih penting lagi adalah keberadaan Ka'bah di tengah kota, yang menjadikannya sebagai pusat keagamaan masyarakat Arab. Meski dimikian, kota suci ini tidak pernah dijajah oleh kekuatan-kekuatan asing.
Lokasi kota Makkah sulit dijangkau oleh kerajaan super power kala itu, yaitu Persia dan Romawi. Tetapi, faktor terpenting yang membebaskan mereka dari penjajahan adalah kemahiran para pemimpin suku di Makkah dalam menjalankan misi politik yang tidak memihak. Istilah sekarang nonblok. Hubungan Makkah dengan kedua kekuatan adidaya itu dibatasi pada kepentingan peningkatan ekonomi yang bersendikan perdagangan.
Disamping dengan Persia dan Romawi, penduduk Makkah juga menjalin kerja sama dagang dengan penduduk di negeri Yammar, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Syam, dan Ethiopia. Mereka tidak hanya mempertukarkan barang-barang dagang, tetapi juga produk-produk budaya. Tidak mengherankan jika sejak lama penduduk Makkah sudah mengenal budaya baca dan tulis. Selain perdagangan, kesusastraan juga berkembang sangat pesat.
Ini mencerminkan bahwa penduduk Makkah adalah orang-orang yang beradab, artinya yang sudah menetapkan kawasan tertentu secara permanen dan memiliki ciri budaya. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam mencatat ketika itu sudah terdapat bangunan-bangunan rumah yang terbuat dari batu bata.
Jika ditilik dari segi pengetahuan dan ekonomi, penduduk Makkah jelas tidak berada dalam kondisi keterbelakangan atau kebodohan. Atau, lebih dikenal dengan jahiliyah. Lantas, mengapa Islam melabeli mereka dengan masyarakat Jahiliyah?
Jahiliyah dalam konsep Islam tidak mengacu pada tingkat pengetahuan ataupun kemapanan ekonomi, tetapi pada keyakinan agama dan kualitas moral. Jahil yang dimaksudkan bukan miskin pengetahuan. Tetapi, jahil karena menyembah sesuatu selain Allah, memelihara tradisi perang antar suku, berbuat biadab terhadap kaum perempuan dan orang-orang lemah, serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Seperti diketahui, suku-suku di Makkah saling berperang untuk mempertahankan kehormatan atau memperebutkan pengaruh di Ka'bah. Masing-masing suku dipimpin oleh kepala suku yang memikirkan kepentingan sukunya sendiri. Sehingga, mengakibatkan terjadinya persaingan untuk memperoleh pengaruh yang besar di wilayah tersebut.
Untuk menegaskan status Makkah sebagai tanah haram, doktrin tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS kemudian ditegakkan kembali. Oleh sebab itu, Allah mengirimkan nabi-Nya yang terakhir, mendakwahkan ajaran tauhid atas keyakinan-keyakinan menyimpang yang subur berkembang.
Di bawah seruan Nabi Muhammad SAW, kalimat Laa ilaha illa Allah kembali bergema. Selang beberapa dekade kemudian, terbentuk masyarakat Makkah yang beriman, adil, toleran, dan egaliter. Status tanah haram pun terus terjaga bersama dengan menguatnya kalimat tauhid di bawah bendera Islam. Dalam surah Al Naml ayat 91, Allah berfirman, "Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini yang telah menjadikannya suci.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar