Kota Makkah menduduki posisi istimewa dalam kehidupan umat Islam. Kota
kelahiran Nabi Muhammad SAW itu merupakan tanah suci yang bergelar haram (kota
suci). Gelar tersebut dianugerahkan oleh Allah berkat doa Nabi Ibrahim AS.
Dalam riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya
Nabi Ibrahim telah menjadikan Makkah sebagai tanah haram, maka aku pun
menjadikan Madinah sebagai tanah haram."
Penganugerahan gelar haram
tersebut karena latar belakang perjuangan nabi-nabi pembawa risalah tauhid. Al
Qur`an merekam jejak sejarah Makkah sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan putranya,
Nabi Ismail AS. Mereka mendakwahkan tauhid kepada anak cucunya dan masyarakat
sekitar.
Anak-anak Ismail dan generasi berikutnya tinggal di
sekeliling Baitullah. Pertumbuhan penduduk di sekitar Ka'bah ditandai dengan
banyaknya suku-suku yang menetap di sana. Permukiman penduduk terdiri atas
berbagai kabilah, seperti Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Asad, Bani Naufal,
Bani Zuhrah, Bani Ta'im, Bani Makhzum, dan Bani 'Asi.
Ketika Nabi Muhammad SAW lahir, Makkah sudah menjelma
menjadi kota yang sangat terkenal di jazirah Arab. Kebesaran sejarah, budaya,
bahkan ekonomi penduduk kota itu cukup menonjol dibandingkan penduduk lain.
Sejarah mencatat, kondisi ekonomi penduduk Makkah
sebelum kedatangan Islam sudah cukup mapan. Makkah menjadi jalur dagang yang
strategis yang menghubungkan Syam di utara dan Yaman di selatan. Yang lebih
penting lagi adalah keberadaan Ka'bah di tengah kota, yang menjadikannya
sebagai pusat keagamaan masyarakat Arab. Meski dimikian, kota suci ini tidak
pernah dijajah oleh kekuatan-kekuatan asing.
Lokasi kota Makkah sulit dijangkau oleh kerajaan super
power kala itu, yaitu Persia dan Romawi. Tetapi, faktor terpenting yang
membebaskan mereka dari penjajahan adalah kemahiran para pemimpin suku di
Makkah dalam menjalankan misi politik yang tidak memihak. Istilah sekarang nonblok.
Hubungan Makkah dengan kedua kekuatan adidaya itu dibatasi pada kepentingan
peningkatan ekonomi yang bersendikan perdagangan.
Disamping dengan Persia dan Romawi, penduduk Makkah
juga menjalin kerja sama dagang dengan penduduk di negeri Yammar, Yamamah,
Tamim, Ghassaniah, Hirah, Syam, dan Ethiopia. Mereka tidak hanya mempertukarkan
barang-barang dagang, tetapi juga produk-produk budaya. Tidak mengherankan jika
sejak lama penduduk Makkah sudah mengenal budaya baca dan tulis. Selain
perdagangan, kesusastraan juga berkembang sangat pesat.
Ini mencerminkan bahwa penduduk Makkah adalah
orang-orang yang beradab, artinya yang sudah menetapkan kawasan tertentu secara
permanen dan memiliki ciri budaya. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam mencatat
ketika itu sudah terdapat bangunan-bangunan rumah yang terbuat dari batu bata.
Jika ditilik dari segi pengetahuan dan ekonomi,
penduduk Makkah jelas tidak berada dalam kondisi keterbelakangan atau
kebodohan. Atau, lebih dikenal dengan jahiliyah. Lantas, mengapa Islam melabeli
mereka dengan masyarakat Jahiliyah?
Jahiliyah dalam konsep Islam tidak mengacu pada
tingkat pengetahuan ataupun kemapanan ekonomi, tetapi pada keyakinan agama dan
kualitas moral. Jahil yang dimaksudkan bukan miskin pengetahuan. Tetapi, jahil
karena menyembah sesuatu selain Allah, memelihara tradisi perang antar suku,
berbuat biadab terhadap kaum perempuan dan orang-orang lemah, serta melanggar
nilai-nilai kemanusiaan.
Seperti diketahui, suku-suku di Makkah saling
berperang untuk mempertahankan kehormatan atau memperebutkan pengaruh di
Ka'bah. Masing-masing suku dipimpin oleh kepala suku yang memikirkan kepentingan
sukunya sendiri. Sehingga, mengakibatkan terjadinya persaingan untuk memperoleh
pengaruh yang besar di wilayah tersebut.
Untuk menegaskan status Makkah sebagai tanah haram,
doktrin tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS kemudian ditegakkan
kembali. Oleh sebab itu, Allah mengirimkan nabi-Nya yang terakhir, mendakwahkan
ajaran tauhid atas keyakinan-keyakinan menyimpang yang subur berkembang.
Di bawah seruan Nabi Muhammad SAW, kalimat Laa
ilaha illa Allah kembali bergema. Selang beberapa dekade kemudian,
terbentuk masyarakat Makkah yang beriman, adil, toleran, dan egaliter. Status
tanah haram pun terus terjaga bersama dengan menguatnya kalimat tauhid di bawah
bendera Islam. Dalam surah Al Naml ayat 91, Allah berfirman, "Aku hanya
diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini yang telah menjadikannya suci.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar